Wednesday, March 14, 2012

Batam, I’m in Love.

Batam. Yang terpikir olehku dari nama kota ini hanyalah barang-barang impor murah yang biasa ayah belikan untukku setiap pulang dinas dari sana. Batam ini merupakan kota terbesar di Kepulauan Riau. Lokasinya tidak jauh dari Singapura dan Malaysia.

Hari ini ayah mengajakku ikut bersamanya untuk dinas di Batam selama kurang lebih seminggu. Kebetulan ini adalah liburan kelulusanku. Ya, aku seorang siswi kelas 3 SMP (yang sebentar lagi akan duduk dibangku SMA dan mengenakan putih abu-abu) disebuah daerah di Jawa Timur. Awalnya aku malas ikut ayah ke Batam, namun ibu memaksaku pergi agar tahu bagaimana Batam dari dekat. Akhirnya, aku pun menyetujui permintaannya.

Setelah sampai di bandara Hang Nadim, aku pun membantu ayah mencari rekannya yang biasa menjemput ayah saat di Batam. Cukup lama aku dan ayah mencari orang yang dimaksud, sampai akhirnya orang tersebut muncul. Jujur, aku cukup kaget awalnya saat melihat wujud orang tersebut. Ia seorang lelaki tampan, berkulit agak kecokelatan, bertubuh tinggi dan cukup atletis. Melihatnya saja sudah membuat perasaanku dag dig dug. Umurnya mungkin 3 tahun diatasku, sekitar 18 tahun. Wajahnya ramah, dan sangat sopan pada ayah. Setelah berbicara sebentar dengan ayah, ia pun mengantar kami ke mobilnya. Honda Jazz berwarna biru. “Keren banget!” batinku. Tak berapa lama, mobilnya melenggang di jalanan kota Batam. Tak lebih dari 15 menit, kami pun sampai di rumah dinas ayah. Rumahnya cukup nyaman walaupun tidak begitu besar. Ayah sudah hampir lima tahun dinas disini, tapi baru kali ini aku menyambangi rumah dinas ayah. Ayah pamit untuk membersihkan diri sebentar, lalu meninggalkanku berdua dengan lelaki tampan ini. Cukup lama kami tenggelam dalam diam. Bingung apa yang ingin dijadikan bahan pembicaraan.

“Nama kakak siapa?” aku memberanikan diri menyapanya duluan.

“Nadim” ujarnya singkat, padat, dan jelas. Agak kesal juga saat dia tidak balik menanyakan namaku.

“Aku Rani” kembali ku berusaha mengajaknya bicara.

“Aku udah tau. Lagian aku nggak nanya”

“Pasti ayah yang ngomong kan?”

“Bukan urusanmu.”

Aku hanya bisa membatin, ternyata sikapnya tak seramah wajahnya. Ku putuskan untuk bangun, mencari sesuatu yang bisa kukonsumsi. Akhirnya aku membuat secangkir teh. Nikmat di sore hari. Aku beranjak ke dapur, mengambil sebungkus teh dan toples gula yang ada di dalam lemari. Lalu ku tuang air dari termos. Bau teh pun menyesaki rongga hidungku. “Hm.. Harum..” gumamku. Tanpa kusadari, ternyata Nadim sudah dibelakangku. Aku terperanjat. “K.. Kak Nadim ngapain?” tanyaku. “Mau mandi. Ya mau buat teh juga lah!” dengan galak ia berkata. Aku pun kesal. “Gak usah galak begitu bisa kali! Aku kira kamu ini ramah. Gak taunya dingin begini!” aku pun berkata dengan nada yang tak kalah ketusnya. Merasa dibentak oleh anak kecil, ia pun kembali menjawab. “Kalau bicara sama orang yang lebih tua harus sopan! Kamu ga punya tata krama! Dasar anak kecil!” dan ia pun melangkah pergi, keluar dari dapur. Tak lama, ayah keluar dari kamar mandi. Nadim sudah bersiap-siap pulang dan langsung pamit pada ayah. Tak lama, ia pulang.

“Ran, kamu kenapa sama Nadim? Kok ayah dengar dari dalam tadi kayaknya kamu ribut sama dia?” tanya ayah. Aku agak kaku menjawab pertanyaan ayah. Ada perasaan bersalah juga karena sudah bersikap cukup kasar dengan Nadim tadi. “Eh, enggak Yah. Nggak apa-apa. Rani ribut sebentar tapi udah minta maaf kok.” Jawabku. “Nadim itu anaknya Om Marzuki, yang ayah sering ceritain itu! Temen ayah paling akrab dari kuliah sampai sekarang. Nadim itu dulu temannya Mbak Rina, kakakmu. Cuma, waktu Nadim lulus masuk SMP, Om Marzuki pindah ke Batam. Eh, enggak lama ayah pindah tugas ke Batam. Ketemu lagi deh.. Hahaha..” ayah pun tergelak. “Jodoh mungkin sama Om Marzuki” jawabku sekenanya. Ayahpun tambah tertawa. “Ran, ayah istirahat dulu deh. Kamu kalau mau mandi handuk-handuk ada di dekat pancuran situ ya. Kalau mau lihat-lihat juga sekalian.” Kata ayah. Aku hanya mengangguk. Lebih memilih untuk mengelilingi rumah dinas ini dan mencari hal-hal baru. Tetangga rumah sekitar sini juga nampaknya ramah. Aku memberanikan diri untuk keluar dan bertanya-tanya tentang Batam, menikmati posisiku sebagai turis domestik dari Jawa Timur.

“Wah, anaknya Pak Adit ya?” tanya seorang wanita. Umurnya mungkin sekitar 30-an. “Eh, iya Bu. Saya anaknya.” Jawabku. “Mirip sama Pak Adit ya!” ujarnya lagi. “Ah, macam mana pula kau Nov! Jelaslah mirip, anaknya!” ujar ibu yang satunya lagi, main timpal diiringi tawa. “Namamu siapa?” tanya ibu-ibu yang pertama. “Saya Rani.. Ibu sendiri?” aku balik bertanya. “Awak ni Novi, ibu yang itu namanya Tiur. Asli orang Toba sana! Hahaha..” jawabnya dengan logat melayu, kembali diiringi tawa. Pantas saja kental aksen bataknya, rupanya benar dia orang Medan sana. Kemudian aku bertanya tempat wisata yang cukup terkenal di Batam. “Ke jembatan Barelan saja.. terkenal itu. Macam jembatan yang di Palembang itu! Apalah namanya aku lupa!” Bu Tiur menanggapi. “Ampera, Bu. Payah nih, masa yang tetanggaan sama-sama satu pulau sama Palembang kalah sama aku yang dari Jawa.. Hahaha” sindirku. Bu Tiur pun tersipu. Bu Novi hanya bisa tersenyum mendengar pembicaraan kami. Hari semakin sore, kuputuskan untuk pamit kembali ke rumah.

Malam ini, Nadim kembali datang ke rumah, membawakan serantang penuh makanan yang nampaknya cukup lezat. “Dari ayah Om,” ujar Nadim saat menyerahkan rantangnya ke ayah. “Wah.. Bilang makasih sama ayahmu ya.. Om Adit jadi ndak enak lho ngerepotin ayah ma ibu mu!” “Ah, enggak om. Ayah sama ibu malah seneng kalau Om mau nyicipin masakan yang alakadarnya ini” ujarnya merendah. Aku agak kesal melihat tingkahnya, tapi wajahnya itu membuatku terpaku. Aah.. Nadim Nadim! Aku menatap wajahnya. Terus tanpa henti sampai nampaknya dia mulai merasa tidak nyaman. Ia balik menatapku. Tepat ke arah mataku. Aku pun terperanjat. Matanya membuat perasaanku bergejolak. Tatapan tajam, namun lembut dan teduh. Dari dalam diriku, aku merasakan sebuah getaran yang sebelumnya belum pernah kurasakan. “Tidak,” batinku. “Aku nggak mungkin suka sama dia!”

“Ayoo dimakan! Entar keburu dingin! Nih udah ayah ambilin buat kamu.” Ayah membuyarkan pikiranku. Ternyata dari tadi ayah mengambilkan makanan untukku. Dengan salah tingkah, aku mengambil piring yang ayah arahkan kepadaku. “Ayo Nadim, kita makan bareng!” ajak ayah. Nadim hanya menggelengkan kepalanya. Dengan pelan aku berujar. “Halah, padahal pengen.” Sepertinya iya mendengar ucapanku. Dia menatapku tajam. Kemudian ia mengambil piring dan ikut makan bersama aku dan ayah. Aku terkekeh dalam hati.

Setelah makan malam bersama, ayah mengajakku wisata ke jembatan Barelang, menikmati suasana malam kota Batam dari sana. Tentunya dengan senang hati aku menerima tawaran ayah. Nadim yang tadinya sudah pamit pulang diminta ayah untuk ikut menemani kami. Ia pun hanya bisa tersenyum kecut dan mengikuti ajakan ayah.

Sampailah kami di jembatan Barelang. Suasana kota Batam tampak cantik sekali. Namun, tak kusadari, aku berdiri terlalu ke arah tengah. Dari arah belakang, sebuah mobil jeep dengan kecepatan tinggi yang berusaha menyalip mobil didepannya melaju ke arahku. Aku terhenyak. Tak dapat ku gerakkan tubuhku ini hanya untuk melangkah sedikitpun. Aku hanya bisa memejamkan mata. Tiba-tiba sebuah tangan menarikku dan kemudian mendekap tubuhku. Hangat kurasakan menjalari tubuhku. Aku menghirup udara dalam-dalam. Hei, aku kenal bau ini! Bau parfum yang biasa kurasakan saat Nadim berada disekitarku. Tapi apa benar ini Nadim? Dia menyelamatkanku? Setelah beberapa menit aku memejamkan mata, akhirnya aku berani membukanya. Aku menengadahkan kepalaku, mencoba melihat wujud penyelamatku. Ternyata benar Nadim! Perutku kembali bergejolak dan refleks aku berkata. “Kak Nadim, I love you..” Nadim pun tersenyum. Manis sekali. Tambah dag dig dug perasaanku melihatnya. “I love you too, Rani..” dan seketika itu juga, semuanya buyar.

Aku melihat langit-langit rumah ayah yang berwarna biru. Disebelahku ada ayah dan Nadim yang menatapku dengan wajah khawatir. Aku bingung. “Aku kenapa?” tanyaku. “Lah, tadi kamu abis ngelihatin aku, bangun, kepeleset, terus pingsan. Kenapa? Enggak kuat lihat mataku yang indah?” tanya Nadim. Ayah hanya bisa bertanya-tanya khawatir. “Kamu nggak apa-apa sayang? Mananya yang sakit Nak? Ayah ambil air sebentar ya?” lalu ayahpun ke dapur. “Kamu yakin enggak apa-apa?” tanya Nadim sekali lagi. “Iya beneran.” Jawabku. Lalu kami terdiam lagi. “Eh kak,” panggilku. “Apa?” sahut Nadim. “Jadi dari tadi tuh Cuma mimpi?” kembali aku bertanya. “Hah? Apa-apaan sih kamu? Kepalamu pasti kebentur keras itu sampai aneh begini!” Nadim pun menatapku aneh dan kemudian beranjak. Jadi dari tadi.. mimpi dong? Yaaaaaaah...


ps: Cerpen ini dibuat 2 tahun yang lalu :D
kiss ya later,

@suncaaay
super PS: twitter gue udah gue setting unprivate. bisa dibuka sama siapa aja ^^

No comments: