Thursday, May 8, 2014

SEJUTA



Dina Trianjani Hakim, 1106021986
SEJUTA
Kebanyakan saudara-saudaranya cerdas dan cemerlang. Kecemerlangannya telah terlihat sejak ia masih kecil. Dia sangat terkenal dan berprestasi di sekolah, universitas dan tempat kerja. Dia selalu menebarkan cinta dan kehangatan untuk orang-orang di sekitarnya walaupun mereka membalas  dengan sikap dingin kepadanya. Dia begegas menyiapkan makanan dengan berbagai macam hidangan karena sebentar lagi keluarganya akan berkumpul di rumahnya untuk makan malam.
            Suaminya kembali sambil membawa berbagai jenis buah dan manisan, namun istrinya tidak dapat ditemui seperti biasanya. Ia mencari istrinya. Ia masuk ke kamarnya namun tidak menemukannya. Kemudian ia memanggil istrinya, “Aminah! Aminah! Dimana kau?” kemudian ia mendengar suara Aminah, “Saya di sini, di ruang kerja.” Kemudian suaminya masuk ke ruangan itu dan berkata, “Apa yang kamu lakukan di ruangan ini?” Suaminya melihat Aminah sedang bersembunyi di bawah meja. Di depannya terdapat banyak kertas dan amplop. Ia bertanya pada Aminah dengan bercanda, “Untuk apa semua kertas dan amplop ini, seakan-akan tukang pos memberikan seluruhnya kepadamu dengan berikut kantung peyimpanannya?!” Aminah tertawa dan berkata kepadanya “Sesungguhnya ini adalah sebuah kejutan yang tidak akan kuberitahukan kepadamu hingga sore hari ketika semua orang telah berkumpul di rumah kita.” Lalu ketika suaminya mendekatinya, Aminah langsung menyembunyikan kertas dan amplop itu dengan tangannya, lalu berkata kepada suaminya, “Kumohon kepadamu, jangan hilangkan kesenangan dari kejutan ini!”
Rahma Hanggraini
Semua orang tertawa. Mereka kemudian bertegur sapa dalam kerinduan. Salman, saudara yang paling kecil, mencoba ikut bergabung. Dia adalah salah satu anggota keluarga yang dimanja. Suaminya berkata seraya menggoda, ”Lelucon terakhir wahai semuanya! Aminah akan  memberikan sebuah kejutan!” Saudaranya yang paling besar menimpali, ”Aku takut kejutan itu adalah tidak ada makan malam untuk hari ini!”
Mereka kemudian berkumpul  mengeliligi meja makan yang melimpah makanannya. Mereka berhenti berbincang dan bersenda gurau. Mereka makan dengan sangat lahap. Berkata Suaminya sambil tersenyum, ”Sekarang kalian  boleh melanjutkan senda gurau,dan kini giliranku untuk makan.” Ayahnya membalas, “Dasar cucu, bagaimana bisa kita berbicara, sedang di antara kitatidak bisa memasak sebagaimana masakan istriku yang lezat,kecuali putriku Aminah. Makanan yang lezat dari tanganmu yang sangat lihai. Sebuah kesempatan yang sangat bagus yang menghujani kebahagiaan dan cinta yang menyebarkan kemurnian dan kejernihan. Sungguh keadaan  sangat tepat waktunya saat nampak akan keramahan dan cinta. Harga ikatan keluarga itu sangat mahal. Sesungguhnya wanita itu mencintai keluarganya , dan dia berharap segala kebaikan untuk keluarganya sebagaimana dia berharap hal tersebut pada dirinya.”
Salman dengan bangga,memukul perutnya seraya berkata, “Alhamdulillah aku sudah kenyang.” Aminah menimpali, “Ayo adikku, makanlah lagi sayuran ini, aku memasaknya secara khusus untukmu.” Sungguh Aminah memanjakan salman seperti anaknya sendiri. Dia menganggap bahwa kebahagiaan salman adalah keridhoan kedua orangtuanya. Dia memberikan perhatiannya sejak Salman masih kecil. Dia memberikan segalanya semampu dia dan dia mengisi hari-hari Salman dengan cinta dan kemanjaan sejak Salman masih sangat kecil.
Zaenal Muttaqin
Kemudian ia berkata pada Aminah. “Dimana kejutannya sekarang?” Aminah berdiri dan bersiap-siap. Aminah berkata kepada mereka. “Saya sibuk sekali selama sebulan ini dengan perlombaan yang hadiahnya berjumlah satu juta dinar.” Semua berteriak. “Satu juta dinar? Tidak masuk akal!” Aminah berkata, “percayalah kepadaku. Sungguh saya bisa setelah bersungguh-sungguh dengan perlombaannya, dan saya menjawab pertanyaan tentang ilmiah dan kebudayaan. Saya yakin pasti benar!”
Salman bertanya, “Jadi kamu pasti akan memenangkan satu juta dinar!”
Aminah menjawab serius, “Tidak... Tidak... Aku tidak sendirian. Jika berhasil dan saya memperoleh kemenangan, maka saya akan membagi rata hadiah tersebut kepada semuanya. Aku tidak puas jika menjadikan satu juta untukku saja. Bayangkan! Saya menulis nama masing-masing dari kita sepuluh jawaban  benar dan meletakkannya ke dalam sepuluh amplop. Jika sudah begitu, berarti saya akan mengirim enam puluh jawaban benar! Adakah yang mengira, ini akan menjadi kesempatan untuk kita menang, dengan izin Allah.”
Abdullah bertanya kepada Aminah, “serius atau bercanda wahai Aminah” “ Tidak...tidak...saya yakin dengan jawabanku. Setidaknya salah satu dari kita akan menang dan berbagi hadiah.” Salman menentang perkataan Aminah. “Siapa yang berkata kita akan berbagi hadiah? Saya pribadi akan menjaga bagianku dan akan memberikan satu dinar kepada kalian.” Aminah menjawab Salman, “Kamu bercanda, tidak masuk akal, jawabanmu sembarangan!” Salman menimpali, “Tidak...tidak...saya tidak bersenda gurau. Itulah yang akan saya lakukan.”
Aminah terdiam sejenak. Keegoisan adiknya membuatnya kaget dan sedih, akan tetapi ini adalah yang diharapkan seorang pemuda yang mengambil semua (hadiah) dan tidak memberikan satu dinar pun. Adapun dua saudara laki-lakinya benar-benar berbeda, serta ibunya, orang tuanya, dan suaminya. Lihat apa yang mereka lakukan seandainya salah satu dari mereka mendapatkan hadiah. Aminah bimbang sebelum meminta kepada mereka dengan tegas. Dia khawatir dengan ide saudaranya.
Aminah berkata kepada mereka, “Apa pendapat kalian seandainya bertanya secara rahasia apa yang akan kalian lakukan dengan satu juta tersebut? Kalian harus jujur dan terbuka. Jangan takut! Saya tidak akan membuka rahasia kalian. Semua tertawa. Mereka heran dengan ide tersebut.
Walid Efendi
Aminah bertanya kepada ayahnya. Ia menjawab dengan berbisik di telinganya, “saya akan menikahi seorang wanita muda dan memperbaharui kehidupan saya. Tapi ingat,          ini adalah rahasia diantara kita! Aminah menatap ibunya dengan tatapan sedih, Aminah berharap ini tidak serius, sebagaimana dia berharap mendapatkan saham atau harta sejumlah satu juta.
Aminah kemudian bertanya kepada ibunya dengan lembut. “Bagaimana denganmu, ibuku yang manis?” Sang ibu berbisik dan menjawab tanpa berfikir, “saya akan memberikan satu juta untuk Salman, dia anak termuda yang lemah dan tidak akan menikah setelahnya.”
Aminah berkata dalam hatinya, “ya Tuhan! Bagaimana hal itu mempengaruhi kami semua? Bukankah kami adalah anak-anaknya? Bagaimana bisa ia memberikan hanya kepada Salman seluruh uangnya dan mehilangkan rasa cinta dan hormat dari saudara-saudaranya?”
Rahma Kusuma Dewi  1106076966
Aminah memandang ke arah saudaranya, Abdullah. Dia adalah seseorang yang sangat bijaksana, bertanggung jawab, dan senang member hadiah. Aminah bertanya dengan sepenuh hati, “dan bagaimana engkau wahai saudaraku tercinta?”
Abdullah meminta aminah untuk mendekat padanya dan kemudian berkata dengan suara yang amat pelan, “Saya akan membeli rumah baru. Saya beserta istri dan anak-anakku akan berpisah dari ibumu dan ayahmu. Saya sangat lelah dengan tanggung jawab yang banyak Aminah!”
Ya Tuhan! Ini bukan jawaban yang Aminah inginkan. Mustahil. Abdullah merasa terganggu dengan kehadiran ibu dan ayahnya. Ia ingin melepas tanggung jawab terhadap apa yang ada di sekitarnya! Seandainya Aminah tidak bertanya. Dia merasa sedikit pusing dan mual.
Aminah kemdian duduk dan merasakan bahwa dunia di sekitarnya berputar. Dia melihat ke arah saudaranya, Ahmad, yang merupakan harapan terakhirnya. Barangkali Ahmad akan lebih baik dari saudaranya. Sesungguhnya ia adalah jutawan. Ia pasti akan membagi satu juta dinar itu ke semuanya. Hal tersebut harus dilakukan, bukan untuk masalah harta, namun untuk secercah harapan diri sendiri, lebih bermakna!
Ahmad berkata, “Bukankah giliranku setelah ini?” Kemudian ia berkata sambil berbisik kepada Aminah, “Jika aku mendapatkan satu juta, saya harap itu akan datang di waktu yang tepat. Saya akan mengadakan transaksi baru, dan hal itu membutuhkan biaya hingga satu juta dinar, bahkan lebih!”
Aminah merasa pusingnya bertambah dahsyat. Andai saja ia tidak mendengar apa yang ia dengar. Andai saja ia tidak bertanya. Andai saja mereka tidak menjawab


Fatimah Sonnia, 1106062784
Suaminya memandang Aminah dengan penuh penuh cinta. Mungkin hanya dia satu-satunya orag yang menyadari bahwa Aminah lelah. Mungkin hanya dia satu-satunya yang tidak akan melupakan Aminah saat berhasil memeroleh hadiah tersebut. Namun apakah benar ia akan seperti itu? Siapakah yang dapat memastikan hal tersebut untuknya? Aminah memandang suaminya dengan hati-hati. Ia ingin bertanya pada suaminya, tetapi ia takut. Ia takut dengan jawaban yang akan ia dengar. Ia takut jawaban tersebut akan memadamkan sinar cinta dan harapan pada dirinya. Sang suami mendekati Aminah dengan perlahan. Aminah menjauh dan berkata, “Kumohon! Kumohon jangan katakan apapun! Aku tidak menginginkan jawaban darimu!”
Aminah kemudian bergegas menuju ruang kerja dan menyatukan semua kertas dan amplop yang sudah terkumpul. Ia membawa seluruh jawaban yang sudah membuatnya lelah selama sebulan penuh. Ia membawa bawaan berat itu ke dapur kemudian melemparnya ke tempat sampah. Ia menyalakan api untuk membakar dan melenyapkan bawaan tersebut serta menutupi segala kenyataan yang ada padanya.
Aminah melihat kertas yang perlahan-lahan terbakar, menyentuh sisinya yang putih bersih. Ia rasakan panasnya api berpindah, kemudian membakar dan mengubah sisi yang putih tersebut menjadi hangus. Ia menangis tersedu-sedu, kemudian menyeka air matanya dengan cepat, takut mereka tahu akan kebenaran jiwa mereka yang sakit.
Perlahan Aminah berkata, “Terkadang manusia harus menutup mata mereka agar dapat terus hidup.” Ia kemudian menghidangkan kunafah cina pada keluarganya, kemudian berkata, “Inilah kejutan yang telah kusiapkan untuk kalian. Sejuta kisah lucu!” Semua orang terbelalak melihatnya. Aminah menjulurkan tangannya sembari menawarkan kepada mereka, “Mari! Silakan! Kita banyak membutuhkan manisan untuk menghilangkan kepahitan dalam mulut kita.”

Wafa Syalabi, Majalah “Al Usrah”.

edited by @suncaaay

No comments: