Dina
Trianjani Hakim, 1106021986
SEJUTA
Kebanyakan
saudara-saudaranya cerdas dan cemerlang. Kecemerlangannya telah terlihat sejak
ia masih kecil. Dia sangat terkenal dan berprestasi di sekolah, universitas dan
tempat kerja. Dia selalu menebarkan cinta dan kehangatan untuk orang-orang di sekitarnya
walaupun mereka membalas dengan sikap
dingin kepadanya. Dia begegas menyiapkan makanan dengan berbagai macam hidangan
karena sebentar lagi keluarganya akan berkumpul di rumahnya untuk makan malam.
Suaminya kembali sambil membawa berbagai
jenis buah dan manisan, namun istrinya tidak dapat ditemui seperti biasanya. Ia
mencari istrinya. Ia masuk ke kamarnya namun tidak menemukannya. Kemudian ia
memanggil istrinya, “Aminah! Aminah! Dimana kau?” kemudian ia mendengar suara
Aminah, “Saya di sini, di ruang kerja.” Kemudian suaminya masuk ke ruangan itu
dan berkata, “Apa yang kamu lakukan di ruangan ini?” Suaminya melihat Aminah
sedang bersembunyi di bawah meja. Di depannya terdapat banyak kertas dan
amplop. Ia bertanya pada Aminah dengan bercanda, “Untuk apa semua kertas dan
amplop ini, seakan-akan tukang pos memberikan seluruhnya kepadamu dengan
berikut kantung peyimpanannya?!” Aminah tertawa dan berkata kepadanya “Sesungguhnya
ini adalah sebuah kejutan yang tidak akan kuberitahukan kepadamu hingga sore
hari ketika semua orang telah berkumpul di rumah kita.” Lalu ketika suaminya
mendekatinya, Aminah langsung menyembunyikan kertas dan amplop itu dengan tangannya,
lalu berkata kepada suaminya, “Kumohon kepadamu, jangan hilangkan kesenangan dari
kejutan ini!”
Rahma
Hanggraini
Semua orang tertawa.
Mereka kemudian bertegur sapa dalam kerinduan. Salman, saudara yang paling kecil, mencoba ikut bergabung. Dia adalah salah satu anggota
keluarga yang dimanja. Suaminya berkata seraya menggoda, ”Lelucon terakhir
wahai semuanya! Aminah akan memberikan
sebuah kejutan!” Saudaranya yang paling besar menimpali, ”Aku takut kejutan itu
adalah tidak ada makan malam untuk hari ini!”
Mereka kemudian
berkumpul mengeliligi meja makan yang
melimpah makanannya. Mereka berhenti berbincang dan bersenda gurau. Mereka
makan dengan sangat lahap. Berkata Suaminya sambil tersenyum, ”Sekarang kalian boleh melanjutkan senda gurau,dan kini
giliranku untuk makan.” Ayahnya membalas, “Dasar cucu, bagaimana bisa
kita berbicara, sedang di antara kitatidak bisa memasak sebagaimana masakan
istriku yang lezat,kecuali putriku Aminah. Makanan yang lezat dari tanganmu yang
sangat lihai. Sebuah kesempatan yang sangat bagus yang menghujani kebahagiaan
dan cinta yang menyebarkan kemurnian dan kejernihan. Sungguh keadaan sangat tepat waktunya saat nampak akan
keramahan dan cinta. Harga ikatan keluarga itu sangat mahal. Sesungguhnya
wanita itu mencintai keluarganya , dan dia berharap segala kebaikan untuk
keluarganya sebagaimana dia berharap hal tersebut pada dirinya.”
Salman dengan
bangga,memukul perutnya seraya berkata, “Alhamdulillah aku sudah kenyang.” Aminah
menimpali, “Ayo adikku, makanlah lagi sayuran ini, aku memasaknya secara khusus
untukmu.” Sungguh Aminah memanjakan salman seperti anaknya sendiri. Dia menganggap
bahwa kebahagiaan salman adalah keridhoan kedua orangtuanya. Dia memberikan
perhatiannya sejak Salman masih kecil. Dia memberikan segalanya semampu dia dan
dia mengisi hari-hari Salman dengan cinta dan kemanjaan sejak Salman masih
sangat kecil.
Zaenal
Muttaqin
Kemudian
ia berkata pada Aminah. “Dimana kejutannya sekarang?” Aminah berdiri dan
bersiap-siap. Aminah berkata kepada mereka. “Saya sibuk sekali selama sebulan ini
dengan perlombaan yang hadiahnya berjumlah satu juta dinar.” Semua berteriak. “Satu
juta dinar? Tidak masuk akal!” Aminah berkata, “percayalah kepadaku. Sungguh
saya bisa setelah bersungguh-sungguh dengan perlombaannya, dan saya menjawab
pertanyaan tentang ilmiah dan kebudayaan. Saya yakin pasti benar!”
Salman
bertanya, “Jadi kamu pasti akan memenangkan satu juta dinar!”
Aminah
menjawab serius, “Tidak... Tidak... Aku tidak sendirian. Jika berhasil dan saya
memperoleh kemenangan, maka saya akan membagi rata hadiah tersebut kepada
semuanya. Aku tidak puas jika menjadikan satu juta untukku saja. Bayangkan!
Saya menulis nama masing-masing dari kita sepuluh jawaban benar dan
meletakkannya ke dalam sepuluh amplop. Jika sudah begitu, berarti saya akan
mengirim enam puluh jawaban benar! Adakah yang mengira, ini akan menjadi
kesempatan untuk kita menang, dengan izin Allah.”
Abdullah
bertanya kepada Aminah, “serius atau bercanda wahai Aminah” “ Tidak...tidak...saya
yakin dengan jawabanku. Setidaknya salah satu dari kita akan menang dan berbagi
hadiah.” Salman menentang perkataan Aminah. “Siapa yang berkata kita akan
berbagi hadiah? Saya pribadi akan menjaga bagianku dan akan memberikan satu
dinar kepada kalian.” Aminah menjawab Salman, “Kamu bercanda, tidak masuk akal,
jawabanmu sembarangan!” Salman menimpali, “Tidak...tidak...saya tidak bersenda
gurau. Itulah yang akan saya lakukan.”
Aminah
terdiam sejenak. Keegoisan adiknya membuatnya kaget dan sedih, akan tetapi ini
adalah yang diharapkan seorang pemuda yang mengambil semua (hadiah) dan tidak
memberikan satu dinar pun. Adapun dua saudara laki-lakinya benar-benar berbeda,
serta ibunya, orang tuanya, dan suaminya. Lihat apa yang mereka lakukan
seandainya salah satu dari mereka mendapatkan hadiah. Aminah bimbang sebelum
meminta kepada mereka dengan tegas. Dia khawatir dengan ide saudaranya.
Aminah
berkata kepada mereka, “Apa pendapat kalian seandainya bertanya secara rahasia
apa yang akan kalian lakukan dengan satu juta tersebut? Kalian harus jujur dan
terbuka. Jangan takut! Saya tidak akan membuka rahasia kalian.” Semua tertawa. Mereka heran dengan ide
tersebut.
Walid
Efendi
Aminah
bertanya kepada ayahnya. Ia menjawab dengan berbisik di telinganya, “saya akan
menikahi seorang wanita muda dan memperbaharui kehidupan saya. Tapi ingat, ini adalah
rahasia diantara kita!”
Aminah
menatap ibunya dengan tatapan sedih, Aminah berharap ini tidak serius,
sebagaimana dia berharap mendapatkan saham atau harta sejumlah satu juta.
Aminah kemudian bertanya kepada ibunya
dengan lembut.
“Bagaimana
denganmu, ibuku yang manis?” Sang ibu berbisik dan menjawab tanpa berfikir, “saya
akan memberikan satu juta untuk Salman, dia anak termuda yang lemah dan tidak
akan menikah setelahnya.”
Aminah
berkata dalam hatinya, “ya Tuhan! Bagaimana hal itu mempengaruhi kami semua? Bukankah
kami adalah anak-anaknya? Bagaimana bisa ia memberikan hanya kepada Salman
seluruh uangnya dan mehilangkan rasa cinta dan hormat dari saudara-saudaranya?”
Rahma Kusuma Dewi 1106076966
Aminah memandang ke arah saudaranya, Abdullah. Dia adalah seseorang
yang sangat bijaksana, bertanggung jawab, dan senang member hadiah. Aminah
bertanya dengan sepenuh hati, “dan bagaimana engkau wahai saudaraku tercinta?”
Abdullah meminta aminah untuk mendekat padanya dan kemudian berkata
dengan suara yang amat pelan, “Saya akan membeli rumah baru. Saya beserta istri
dan anak-anakku akan berpisah dari ibumu dan ayahmu. Saya sangat lelah dengan
tanggung jawab yang banyak Aminah!”
Ya Tuhan! Ini bukan jawaban yang Aminah inginkan. Mustahil. Abdullah
merasa terganggu dengan kehadiran ibu dan ayahnya. Ia ingin melepas tanggung
jawab terhadap apa yang ada di sekitarnya! Seandainya Aminah tidak bertanya.
Dia merasa sedikit pusing dan mual.
Aminah kemdian duduk dan merasakan bahwa dunia di sekitarnya
berputar. Dia melihat ke arah saudaranya, Ahmad, yang merupakan harapan
terakhirnya. Barangkali Ahmad akan lebih baik dari saudaranya. Sesungguhnya ia
adalah jutawan. Ia pasti akan membagi satu juta dinar itu ke semuanya. Hal
tersebut harus dilakukan, bukan untuk masalah harta, namun untuk secercah
harapan diri sendiri, lebih bermakna!
Ahmad berkata, “Bukankah giliranku setelah ini?” Kemudian ia
berkata sambil berbisik kepada Aminah, “Jika aku mendapatkan satu juta, saya harap
itu akan datang di waktu yang tepat. Saya akan mengadakan transaksi baru, dan
hal itu membutuhkan biaya hingga satu juta dinar, bahkan lebih!”
Aminah merasa pusingnya bertambah dahsyat. Andai saja ia tidak
mendengar apa yang ia dengar. Andai saja ia tidak bertanya. Andai saja mereka
tidak menjawab
Fatimah
Sonnia, 1106062784
Suaminya
memandang Aminah dengan penuh penuh cinta. Mungkin hanya dia satu-satunya orag
yang menyadari bahwa Aminah lelah. Mungkin hanya dia satu-satunya yang tidak
akan melupakan Aminah saat berhasil memeroleh hadiah tersebut. Namun apakah benar
ia akan seperti itu? Siapakah yang dapat memastikan hal tersebut untuknya? Aminah
memandang suaminya dengan hati-hati. Ia ingin bertanya pada suaminya, tetapi ia
takut. Ia takut dengan jawaban yang akan ia dengar. Ia takut jawaban tersebut
akan memadamkan sinar cinta dan harapan pada dirinya. Sang suami mendekati
Aminah dengan perlahan. Aminah menjauh dan berkata, “Kumohon! Kumohon jangan katakan
apapun! Aku tidak menginginkan jawaban darimu!”
Aminah
kemudian bergegas menuju ruang kerja dan menyatukan semua kertas dan amplop
yang sudah terkumpul. Ia membawa seluruh jawaban yang sudah membuatnya lelah
selama sebulan penuh. Ia membawa bawaan berat itu ke dapur kemudian melemparnya
ke tempat sampah. Ia menyalakan api untuk membakar dan melenyapkan bawaan
tersebut serta menutupi segala kenyataan yang ada padanya.
Aminah
melihat kertas yang perlahan-lahan terbakar, menyentuh sisinya yang putih
bersih. Ia rasakan panasnya api berpindah, kemudian membakar dan mengubah sisi
yang putih tersebut menjadi hangus. Ia menangis tersedu-sedu, kemudian menyeka
air matanya dengan cepat, takut mereka tahu akan kebenaran jiwa mereka yang
sakit.
Perlahan
Aminah berkata, “Terkadang manusia harus menutup mata mereka agar dapat terus
hidup.” Ia kemudian menghidangkan kunafah cina pada keluarganya,
kemudian berkata, “Inilah kejutan yang telah kusiapkan untuk kalian. Sejuta
kisah lucu!” Semua orang terbelalak melihatnya. Aminah menjulurkan tangannya
sembari menawarkan kepada mereka, “Mari! Silakan! Kita banyak membutuhkan
manisan untuk menghilangkan kepahitan dalam mulut kita.”
Wafa
Syalabi, Majalah “Al Usrah”.
edited by @suncaaay
No comments:
Post a Comment