Friday, October 26, 2012

Indonesia - Malaysia?



Indonesia – Malaysia. Yang terpikirkan di kepala kita masing-masing saat membaca -atau mendengar- dua nama negara tersebut pasti konflik-konflik yang sering terjadi di antara keduanya. Ya, pemberitaan kasus-kasus perebutan budaya, bahkan perebutan aset alam, terus-menerus membuat kita terkejut. Pertama, perebutan Pulau Ambalat, dilanjutkan dengan Pulau Sipadan-Ligitan, batik, wayang, Reog Ponorogo, tari tor-tor, lagu “Rasa Sayange”, hingga tempe. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Menurut literatur yang saya baca, hal ini dapat terjadi karena Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara dengan masyarakat yang berumpun sama, yaitu rumpun Melayu. Pergolakan-pergolakan semacam ini tidak hanya terjadi antara Indonesia dengan Malaysia saja, negara-negara dengan ras sama seperti Israel-Palestina dan Jepang-Korea juga mengalami hal yang serupa. Tidak menutup kemungkinan bahwa apa-apa yang ada di Indonesia juga dimiliki oleh masyarakat Malaysia, hanya saja dalam bentuk yang, mungkin, berbeda. Namun, menurut Ketua Badan Perwakilan Komite Nasional Pemuda Indonesia (BP KNPI) Malaysia, Sagir Alva, seharusnya itu tidak dijadikan alasan untuk membiarkan Malaysia mengakui budaya lokal Indonesia sebagai budaya mereka. Justru Indonesia harus memperjelas identitas budaya lokalnya.

Menurut saya, hal ini terjadi karena masyarakat Indonesia apatis terhadap kebudayaan yang dimilikinya. Yang paling nyata adalah kasus Reog Ponorogo. Sebelum kasus ini mencuat ke permukaan, bisa dipastikan bahwa kebudayaan asli Indonesia yang sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit ini hanya dilihat sebelah mata oleh masyarakat kebanyakan. “Ah, wong cuma reog, kok!”. Namun setelah berita tersebut bergulir, barulah kita panik, berlari kesana-kemari untuk mempertahankan hasil budaya kita.

Contoh lainnya adalah lagu “Rasa Sayange”. Akhir-akhir ini, lagu-lagu daerah Indonesia tidak lagi memiliki tempat di hati kita. Kita pelan-pelan melupakan kebudayaan yang seharusnya dengan fiat kita lestarikan. Tidak perlu jauh-jauh melakukan survey, sekolah dasar tempat adik saya menuntut ilmu tidak pernah mengenalkan kepada murid-muridnya lagu-lagu daerah. Boro-boro lagu daerah, lagu wajib nasional pun tidak. Saya prihatin, karena generasi-generasi muda yang seharusnya dilatih untuk siap tempur dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan kita di suatu hari nanti, malah dibiarkan tidak mengenal jati diri mereka begitu saja. (Ya, menurut saya kebudayaan adalah jati diri sebuah bangsa.)

Keapatisan masyarakat (jika boleh lebih saya khususkan lagi, masyrakat disini adalah pemerintah) kita bukan hanya terhadap budaya yang dimiliki, namun juga terhadap wilayah Indonesia. Mereka terlalu sibuk memperhatikah wilayah-wilayah pusat hingga melupakan daerah-daerah terdepan Indonesia (walau terkadang Malaysia juga melakukan tindakan-tindakan kontroversial, seperti awal pencaplokan pulau Ambalat tahun 1970-an dulu).

Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi hal ini?

Mencaci-maki mereka dengan sebutan “Malingsia” tidak akan menyelesaikan persengketaan ini. Berdebat panjang lebar dengan mereka, seperti yang terjadi pada banyak jejaring sosial, juga tidak akan memberi solusi. Yang kita butuhkan adalah kepala dingin dan sikap bijak, namun juga tegas. Mari, pelan-pelan kita lestarikan budaya Indonesia, dimulai dari diri kita sendiri. Saya percaya pepatah “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” berlaku pada hal ini. Saat diri kita bisa melestarikan budaya Indonesia dengan baik, maka lama-lama orang lain juga akan menghargai dengan apa yang kita miliki, dan dunia bisa melihat, bahwa sesungguhnya Indonesia merupakan negara yang kaya dengan budayanya yang adiluhung.

(Dibuat untuk memenuhi UTS Take Home Mata Kuliah Kebudayaan Indonesia, Oktober 2012)

Enjoy,
@suncaaay ^^

No comments: