Indonesia – Malaysia. Yang terpikirkan
di kepala kita masing-masing saat membaca -atau mendengar- dua nama negara
tersebut pasti konflik-konflik yang sering terjadi di antara keduanya. Ya, pemberitaan
kasus-kasus perebutan budaya, bahkan perebutan aset alam, terus-menerus membuat
kita terkejut. Pertama, perebutan Pulau Ambalat, dilanjutkan dengan Pulau
Sipadan-Ligitan, batik, wayang, Reog Ponorogo, tari tor-tor, lagu “Rasa Sayange”,
hingga tempe. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Menurut literatur yang saya baca,
hal ini dapat terjadi karena Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara dengan
masyarakat yang berumpun sama, yaitu rumpun Melayu. Pergolakan-pergolakan
semacam ini tidak hanya terjadi antara Indonesia dengan Malaysia saja,
negara-negara dengan ras sama seperti Israel-Palestina dan Jepang-Korea juga
mengalami hal yang serupa. Tidak menutup kemungkinan bahwa apa-apa yang ada di
Indonesia juga dimiliki oleh masyarakat Malaysia, hanya saja dalam bentuk yang,
mungkin, berbeda. Namun, menurut Ketua Badan Perwakilan Komite Nasional Pemuda
Indonesia (BP KNPI) Malaysia, Sagir Alva, seharusnya itu tidak dijadikan alasan
untuk membiarkan Malaysia mengakui budaya lokal Indonesia sebagai budaya mereka.
Justru Indonesia harus memperjelas identitas budaya lokalnya.
Menurut saya, hal ini terjadi
karena masyarakat Indonesia apatis terhadap kebudayaan yang dimilikinya. Yang paling
nyata adalah kasus Reog Ponorogo. Sebelum kasus ini mencuat ke permukaan, bisa
dipastikan bahwa kebudayaan asli Indonesia yang sudah ada sejak zaman kerajaan
Majapahit ini hanya dilihat sebelah mata oleh masyarakat kebanyakan. “Ah, wong
cuma reog, kok!”. Namun setelah berita tersebut bergulir, barulah kita panik, berlari
kesana-kemari untuk mempertahankan hasil budaya kita.
Contoh lainnya adalah lagu “Rasa
Sayange”. Akhir-akhir ini, lagu-lagu daerah Indonesia tidak lagi memiliki
tempat di hati kita. Kita pelan-pelan melupakan kebudayaan yang seharusnya
dengan fiat kita lestarikan. Tidak perlu jauh-jauh melakukan survey, sekolah
dasar tempat adik saya menuntut ilmu tidak pernah mengenalkan kepada
murid-muridnya lagu-lagu daerah. Boro-boro lagu daerah, lagu wajib
nasional pun tidak. Saya prihatin, karena generasi-generasi muda yang
seharusnya dilatih untuk siap tempur dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan
kita di suatu hari nanti, malah dibiarkan tidak mengenal jati diri mereka
begitu saja. (Ya, menurut saya kebudayaan adalah jati diri sebuah bangsa.)
Keapatisan masyarakat (jika boleh
lebih saya khususkan lagi, masyrakat disini adalah pemerintah) kita bukan hanya
terhadap budaya yang dimiliki, namun juga terhadap wilayah Indonesia. Mereka
terlalu sibuk memperhatikah wilayah-wilayah pusat hingga melupakan
daerah-daerah terdepan Indonesia (walau terkadang Malaysia juga melakukan
tindakan-tindakan kontroversial, seperti awal pencaplokan pulau Ambalat tahun
1970-an dulu).
Lalu apa yang bisa kita lakukan
dalam menghadapi hal ini?
Mencaci-maki mereka dengan
sebutan “Malingsia” tidak akan menyelesaikan persengketaan ini. Berdebat panjang
lebar dengan mereka, seperti yang terjadi pada banyak jejaring sosial, juga
tidak akan memberi solusi. Yang kita butuhkan adalah kepala dingin dan sikap
bijak, namun juga tegas. Mari, pelan-pelan kita lestarikan budaya Indonesia,
dimulai dari diri kita sendiri. Saya percaya pepatah “sedikit demi sedikit
lama-lama menjadi bukit” berlaku pada hal ini. Saat diri kita bisa melestarikan
budaya Indonesia dengan baik, maka lama-lama orang lain juga akan menghargai
dengan apa yang kita miliki, dan dunia bisa melihat, bahwa sesungguhnya
Indonesia merupakan negara yang kaya dengan budayanya yang adiluhung.
(Dibuat untuk memenuhi UTS Take Home Mata Kuliah Kebudayaan Indonesia, Oktober 2012)
@suncaaay ^^
No comments:
Post a Comment