Saturday, July 27, 2013

Bitter Revenge



Aku benar-benar berusaha mengosongkan pikiranku, membuang jauh-jauh apa yang terjadi malam ini. Setelah lelah, aku menghempaskan tubuhku ke arah sofa empuk milik Vivi, yang kemudian disambut oleh sorakan “huuu” dari Vivi dan Tina yang kutindihi badannya.

“Mar, dari jaman kerja 6 taun yang lalu sampe sebelum lo kenal Anton, cuma ada 1 hal yang bikin lo stres gini, kalah tender. Sejak kenal sama Anton, hal yang bikin elo jadi stres nambah satu lagi. Ya si Anton itu penyebabnya.”

“Na, udah, gue lagi gak kepingin denger namanya dia. Lo tau, sepanjang gue jadian sama Anton, baru kali ini gue ngerasain benci luar biasa sama sikapnya dia. Gue tau dia kerja buat gue juga nantinya, he had told me thousand times, tapi apa salahnya sih dia luangin waktu barang satu jaaaaam aja, buat ngerayain hari jadinya kita? Gue salah kalo ngarep banget dia bakal dateng? Wajar gak sih kalo gue marah banget sama dia saat ini?”

“Nggak lah Mar! Ya wajar, kan ini acaranya lo berdua. Emang gila ya si Anton.”

“Gila banget Vi. Gi.. La..” Gue pun nangis lagi. Vivi cuma bisa menatap aku dengan tatapan penuh simpati. Tina pun mendekat, memeluk aku berdua. Bertiga kita berpelukan cukup lama, sampe akhirnya keluarlah kata-kata sakti mandraguna dari Vivi yang bikin tangisanku berhenti mendadak.

“Mar, gak ada rencana buat bales dendam?”

“Hah? Bales dendam? Gila  lo, Vi! Mar, jangan dengerin omongannya Vivi, kadang emang suka kurang satu sendok makan itu otaknya. Bajingan-bajingan gitu juga dia cowok lo!”

“Nggak nggak, Na. Kalo bajingan jangan jadi cowo gue. I can’t tolerate bastard.”

“Aha! I love the way you said it. Jadi gimana Mar? Let’s plan a sweet revenge. As much as sugar cream.”

“Gue gak bisa nolak ide lo Vi. Kadang-kadang otak lo kelewat cerdas. Sori, Na, but you lose this time. 2 lawan 1.”

“Ya.. Ya, whatever deh. Gue cuma mau bilang, a revenge might release what you feel, but it doesn’t heal any wound.”

“Alright, your highness, I’ll remember what you say, thanks, I do appreciate it so much.” Ujarku sambil menimpuk wajah Tina dengan bantal terdekat. Tina hanya bisa memasang tampang cemberut.

“Jadi gini Mar. Tell him you’ll give him last chance to fix everything. Arrange another dinner, make sure that he will come. Make him feel guilty he couldn’t say anything but yes. Biar aja dia yang atur mau dimana, kapan, dan jam berapa. Kalo udah fix semua, pastikan lo nggak akan dateng. Just do it the way he did it. How how?”

“Hmm.. Terlalu klasik. Tapi okelah, boleh dicoba. Gue rasa dia udah nyesel banget kemarin waktu telepon gue. I can feel it from the way he talked.”

“Baguslah, berarti kemungkinan buat dia dateng besar. Telepon dia besok pagi-pagi, pasang suara selemah mungkin, kalo perlu sambil agak terisak-isak. Tell him you love him, you don’t want this relationship end, so you’ll give him a very last chance. Sekarang lo pulang, mandi, and have a nice sleep. Nurut sama gue. Oke?”

Aku udah nggak bisa menjawab apa-apa lagi. Her idea is too damn good. Aku berkemas, melapisi rok super mini dan tanktop super tipis dengan jaket kebesaranku (it’s actually Anton’s but I love it since the first time he used it, so I took it as mine), dan segera menuju mobil untuk kemudina menyetir secepat mungkin ke rumah.

--------
To be continued.

No comments: